Old school Easter eggs.
HomeBlogAbout me
RIYAN_zijjue
Ss
sanggar seni seulaweut
sanggar seni seulaweut
Konsistensi Pilar Penjaga Budaya Sanggar Seni Seulaweut (S3) nyaris tenggelam. Badai menghantam mereka di kanan kiri. Tapi, mereka berhasil bangkit dan berjaya memancarkan pesona Aceh ke mancanegara. Kuncinya, sang pilar yang tak menyerah pada keadaan. RANAH seni budaya etnik Aceh saat ini diramaikan oleh sebuah kelompok bernama Sanggar Seni Seulaweut (S3) yang berbasis di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Kiprah mereka memancarkan pesona Aceh hingga ke mancanegara. Tapi, banyak yang tidak mengenal siapa sosok yang berada di balik kisah sukses mereka. Di balik nama besar sanggar itu ada sosok Imam Juaini, pria sederhana dengan keterbatasan fisik yang menjadi pilar S3. Kerja keras dan perjuangannya dari “titik nol” kini berbuah pada kesuksesan sanggar yang dipimpin dan dibinanya. Nama S3 kini tidak hanya dikenal di Aceh. Panji sanggar itu telah berkibar di beberapa negara Asia, Amerika hingga Eropa. Imam Juaini, biasa disapa Bang Imam, lahir di Kota Bakti, Pidie, 3 Januari 1979. Putra pasangan Abdul Malik Usman dan Salamah ini mulai merasakan darah seni mengalir deras di nadinya sejak ia masih kecil. Ketika di sekolah dasar, ia bercita-cita menjadi seniman. Kedua orang tuanya, yang petani, tidak menentang keinginan itu. Bakatnya kian terasah ketika SMA, lalu menemukan pelabuhannya ketika kuliah ke Banda Aceh. Setelah terdaftar sebagai mahasiswa di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh pada tahun 1998, ia masuk ke Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan menjadi rekrutmen pertama di sanggar. Ia cuma dua tahun jadi anggota. Selanjutnya, sejak tahun 2000, ia menjadi ketua umum sanggar itu. Selama enam tahun memimpin S3, Imam menghadapi banyak tantangan yang nyaris membuat semangatnya padam. Ia mengulas kisah itu. Pada masa ia memimpin sanggar, dana yang dialokasikan kampusnya untuk UKM sangat minim. Untuk setahun, S3 bahkan hanya menerima Rp1,5 juta. Dengan uang terbatas itu, kreatifitas mereka nyaris buntu. Untuk membeli kostum pun mereka harus irit. “Masalah yang saya hadapi saat awal yakni tidak adanya kostum untuk setiap penampilan. Pendahulu kami hanya mewariskan satu set kostum penari perempuan. Karena itu, kami berinisiatif beli kostum hitam agar dapat dipadukan dengan warna lain,” kata Imam. Tantangan pun muncul. Setelah mereka memiliki peralatan dan materi untuk dipentaskan, kesempatan untuk tampil sangat sedikit. Akhirnya Imam memutuskan untuk sekadar tampil di kegiatan internal kampus dan pesta kawinan. “Untuk acara kampus atau kawinan, kami hanya dibayar Rp50 ribu sampai Rp75 ribu sekali tampil,” kenang Imam. Satu tantangan belum selesai, yang lainnya muncul. Keadaan kemudian semakin menjepit. Untuk berbagai alasan, angggota sanggar hanya tinggal tiga orang. Imam kemudian memutuskan untuk mengangkat pengurus baru dari angkatan 2000, yang sebenarnya belum boleh menjadi pengurus. Belajar dari pengalaman, Imam dan rekan-rekan kemudian memperkuat komunikasi di antara mereka. Komunikasi dijaga sebaik mungkin dalam kondisi seburuk apapun. Pada tahun 2002 Imam menyertakan S3 dalam festival tari se-Aceh di “Piyasan Pasee” yang melibatkan seluruh sanggar binaan pendopo di Aceh. Festival berlangsung tiga hari di Kota Lhokseumawe. S3 saat itu hanya punya dana Rp500 ribu sehingga diputuskan untuk mengumpulkan uang tiap dari anggota Rp10 ribu. Di Lhokseumawe, mereka menginap di rumah salah satu anggota sanggar. Mereka harus irit untuk bisa makan. Tapi, semangat dan kekompakan mereka membuahkan hasil. S3 meraih juara terbaik tari tradisional Aceh. Mereka masuk dalam lima sanggar terbaik bersama Sanggar Cut Nyak Dien, Pusaka Nanggroe, Sanggar Meuligoe Pidie dan sanggar Cut Mutia. Dari lima yang terbaik, S3 merupakan satu- satunya sanggar mewakili masyarakat atau sanggar mahasiswa dan mereka juga satu-satunya yang memboyong piala ke Banda Aceh dari festival tari itu. “Ini pengalaman manis, tapi pahit kalau dikenang,” kata Imam sambil tersenyum. Perjuangan belum selesai. Pada Agustus 2002, Imam mendaftarkan sanggarnya dalam audisi pegelaran seni untuk mewakili Aceh pada ajang yang digelar di Istora Senayan, Jakarta. S3 menang audisi dan berangkat ke Jakarta. Ini kali pertama S3 tampil tingkat nasional. Di sana, mereka meraih juara terbaik kedua. Ini pertama kalinya S3 mengharumkan nama Aceh. Dengan modal kekompakan, pada tahun 2003 Imam merancang program “Muhibah Seni ke Malaysia”. “Modal dari kami cuma satu, yaitu kekompakan. Uang bukan segala-galanya walaupun segala-galanya perlu uang. Dengan adanya rasa memiliki, maka inisiatif muncul sendiri,” ujarnya. Tujuh bulan lebih S3 mempersiapkan program itu, mulai dari mencari dana hingga menyurati mahasiswa Aceh di Malaysia untuk mempermudahkan S3 mengakses jalan masuk ke universitas di negeri jiran. Dan akhirnya, mereka terbang ke sana. Selama 26 hari, Imam dan 34 rekannya tampil di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan beberapa universitas lain. Di sana, mereka mendapat apresiasi luar biasa. Berbekal integritas dan nama yang mulai harum, pada tahun 2005 UKM secara khusus mengudang S3 untuk tampil secara langsung (live) di televisi Malaysia. Setelah itu, S3 melawat hingga ke Turki Cina, Amerika Serikat dan Australia. Setelah mengantarkan sanggarnya ke puncak kesuksesan, kini Imam diangkat sebagai pembina S3. Bersama beberapa rekan, ia juga membentuk forum seniman bernama Komite Sentral Seniman Aceh (KSSA). Untuk tetap menjaga eksistensinya, di sela kuliah kini Imam fokus mengembangkan komunitas Saleum Group yang didirikannya pada Februari 2005. Saleum merupakan grup band etnis modern Aceh yang terdiri dari 15 personil. “Album kedua kami sedang dalam proses. Akan segera diluncurkan,” kata Imam. Di balik kesuksesannya membesarkan S3, Imam tetap menjadi sosok sederhana. Ketika ditanya faktor yang memotifasinya, Imam mengaku keadaan dalam masyarakat-lah yang membuatnya tetap sabar dan terus berjuang. “Masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang berbudaya dan beradab. Namun, itu semua terkikis oleh banyaknya konflik yang terjadi, mulai dari konflik panjang hingga bencana besar yang telah membinasakan seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh”. “Kesenian Aceh mendapat tempat di mata dunia. Ini salah satu modal Aceh di mata internasional. Justru itu perlu kita bina dengan penuh rasa profesional, sehingga ke depan terbentuk regenerasi yang berlandaskan nilai budaya sendiri,” kata Imam, yang kini sedang melanjutkan studi pascasarjana di IAIN.
1